Salah Satu Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia Yaitu – Pada tanggal 1 Januari 2001, akibat krisis keuangan dan pergolakan politik, Indonesia resmi menerapkan desentralisasi (otonomi daerah). Dengan demikian, berdasarkan kronologinya, Indonesia telah memasuki dekade pertama reformasi desentralisasi dan otonomi daerah sejak tahun 2010. Penerapan otonomi daerah di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. UU No. 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa tujuan pemerintahan daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah. Namun, setelah beberapa tahun otonomi daerah di sebagian besar wilayah Indonesia, tujuan tersebut tampaknya belum tercapai.
Konsep otonomi daerah mencakup tujuan utama mencapai kemandirian daerah melalui penguatan kekuasaan lokal dan partisipasi masyarakat. Otonomi daerah hadir dengan paket demokrasi, namun tetap melibatkan sentralisasi. Jadi kenyataannya saat ini saling ketergantungan kawasan juga semakin meningkat, bukan sebaliknya. Selain itu, di negara-negara berkembang, orientasi terhadap pembangunan dalam keseimbangan kekuatan vertikal sangat kuat terkait dengan perilaku yang tidak konvensional. Hal ini terlihat dari masih kuatnya ketegangan dalam pemerintahan nasional dan kecenderungan mengabaikan pembangunan di tingkat daerah. Keadaan ini membawa dampak buruk bagi kemandirian masyarakat sebagai salah satu ciri utama kemandirian masyarakat daerah. Penyalahgunaan pembangunan seperti ini tidak hanya terbatas pada tidak meratanya pemerataan pembangunan yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara, namun juga penyedotan sumber daya daerah sehingga menyebabkan tidak meratanya pembangunan antara pusat dan daerah. Pemanfaatan sumber daya tersebut dinyatakan dengan berkembangnya rasio negatif terhadap kapasitas produktif sumber daya alam suatu daerah (produk domestik bruto daerah), namun dengan minimalnya konsumsi hasil pengolahan sumber daya alam di daerah yang bersangkutan. (Kholidin dan Hariyati, 2012).
Salah Satu Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia Yaitu
Otonomi daerah masih mencari keseimbangan antara pusat dan daerah. Pemerintah daerah belum sepenuhnya berdaya untuk membiayai seluruh kebutuhannya, terutama kebutuhan dasar sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Kemampuan mengelola dan mengolah potensi alam baik yang masih berupa bahan baku maupun produk setengah jadi. Artinya daerah tersebut tidak dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dengan meningkatkan nilai ekonomi barang-barangnya. Dengan demikian, pemerintah daerah masih mengandalkan dana dari sisa dana.
Pemda Dinilai Kurang Responsif Terhadap Ancaman Krisis
Kondisi ini sama sekali tidak sesuai dengan isi otonomi daerah. Terlebih lagi, fokus kebijakan dan alokasi keuangan tetap berada di pundak negara. Hal ini dapat menghambat kemampuan mengalokasikan dana untuk pembangunan daerah bila diperlukan.
Pemerintahan daerah yang berjalan sendiri saat ini belum mengarah pada transformasi masyarakat daerah menjadi otonomi. Ciri khas dari pemerintahan mandiri daerah adalah semakin besarnya partisipasi masyarakat daerah dalam menentukan nasib sendiri, namun dalam praktiknya daerah masih kurang memiliki kepemimpinan dalam pelaksanaan pemerintahan mandiri daerah. Kecenderungan berpartisipasi di era desentralisasi dimanfaatkan oleh elite publik dalam kehadirannya mengatasnamakan wakil rakyat yang dapat lebih mempengaruhi politik di tingkat daerah dan menyuarakan kehendak rakyat. Dalam pemilu, rakyat hanya dijadikan alat politik untuk mencapai tujuan individu atau kelompok tertentu. Setelah terpilih, tidak ada kewenangan hukum tertulis yang memaksa orang terpilih untuk menuruti tuntutan pihak yang mendukungnya dalam pemilu. Kuatnya dominasi pemerintah daerah dalam proses penyusunan kebijakan publik, penganggaran belanja daerah, pengelolaan pelayanan publik, dan pengelolaan sumber daya menjadi salah satu penyebab tertutupnya kesempatan masyarakat untuk ikut menentukan urusan publik. Selain itu, pemerintah daerah hanya mengikutsertakan organisasi formal yang mempunyai badan hukum, seperti partai politik, dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pemerintahan. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat masih rendah.
Pemimpin memegang peranan penting dalam mencapai tujuan organisasi dan mengembangkan organisasi agar mampu bertahan terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, pengelolaan daerah sebagai suatu organisasi berada pada pimpinan puncak, yaitu pengelola daerah. Kemauan politik dan kapasitas pemimpin daerah juga akan menentukan tercapai atau tidaknya tujuan otonomi. Memasuki tahap otonomi daerah, mau tidak mau daerah harus berupaya menggali potensi yang ada dan mendorong pemerintah daerah untuk berinovasi dan kreatif. Namun inovasi dan kreativitas dalam memanfaatkan kemampuan yang ada di pemerintahan masih kurang. Misalnya dalam pengelolaan sumber daya. Banyak daerah menjalankan program yang sama dari tahun ke tahun. Program tersebut belum berkembang dengan inovasi-inovasi baru yang paling dibutuhkan masyarakat. Faktanya, lingkungan terus berubah sehingga kebutuhan dan tuntutan mereka pun semakin tinggi.
Permasalahan tersebut di atas memerlukan penyelesaian segera untuk mencapai tujuan otonomi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keputusan yang harus diambil mencakup kualifikasi pemimpin atau manajer daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran pengelola daerah dalam menentukan arah pembangunan daerah sangatlah penting. Tanpa adanya kemauan politik dari pimpinan, mustahil upaya pembangunan dapat terlaksana. Selain itu, diperlukan pula pengelola daerah yang kompeten, tanggap, kritis, inovatif dan kreatif di bidangnya, serta mempunyai kemauan kuat untuk mengubah daerahnya menjadi lebih baik. Untuk itu, perlu adanya pelatihan talenta politik yang memiliki pemahaman menyeluruh akan pentingnya kearifan lokal dan daya saing daerah. Hingga saat ini, sebagian besar pengurus daerah berasal dari partai politik, sehingga mereka dapat menaruh perhatian pada pengembangan personel politik dan memberikan tanggung jawab untuk melatih para personel politik tingkat tinggi.
Pdf) Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah Dibawah Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999
Selain kepemimpinan yang perlu ditingkatkan, keterlibatan sosial semua kelompok, tidak hanya kelompok elit di masyarakat, juga meningkat. Keterlibatan tersebut dapat dicapai dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat dan prosedur partisipasi yang jelas dan sosial, tanpa membeda-bedakan pihak tertentu. Pemerintah juga mempunyai tugas memberikan akses kepada masyarakat luas terhadap informasi mengenai pemerintahan daerah. Menyediakan tempat dan SOP mekanisme pengaduan masyarakat, tidak hanya melalui kotak pengaduan, email, call center atau pos, namun juga menyediakan forum atau lembaga yang melayani pengaduan masyarakat dan pelaksanaan layanan. Tidak perlu membentuk lembaga baru, mengoptimalkan lembaga/organisasi atau SKPD yang ada dan menyediakan mekanisme pengaduan juga merupakan upaya yang wajar untuk membuka peluang partisipasi dan menjadi sarana kontrol publik. Musrenbangdes tingkat kabupaten/kota, Musrenbangkam hingga Musrenbang dengan mengoptimalkan kegiatan Musrembang dapat mewujudkan partisipasi masyarakat yang kuat. Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan melalui Musambang selama ini hanya disahkan tanpa adanya upaya implementasi sehingga menimbulkan frustasi di kalangan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, nyatanya kebijakan yang dikembangkan dalam musrenbangdes dan jsrenbangcam pasti bertentangan dengan program kerja yang disusun masing-masing SKPD ketika pembangunan dibawa ke tingkat musrenbangda. Selain itu, keterbatasan anggaran juga menjadi kendala dalam implementasi kebijakan yang dirumuskan dalam Musrenbang. Oleh karena itu, pemerintah harus menyikapi kesepakatan dalam Musrembang tersebut agar masyarakat merasakan perlunya kehadiran dan partisipasinya dalam proses pembangunan pemerintahan daerah yang mandiri. Pemerintah harus cerdas, inovatif dan kreatif dalam pengambilan kebijakan, terutama dalam kemampuan memprioritaskan program daerah dan tidak menimbulkan rasa iri di masyarakat itu sendiri.
Solusi lain adalah dengan melibatkan pegawai pemerintah. Selama ini rekrutmen PNS di daerah hanya dilakukan melalui seleksi umum, dan belum ada sistem rekrutmen berdasarkan bidang pekerjaan (terkoordinasi antara pendidikan dan pelatihan), sehingga kegiatannya terbatas pada saat ditugaskan. Struktur negara. Untuk tugas-tugas yang diberikan kepada pegawai yang belum memberikan kontribusi atau kontribusi terhadap inovasi yang lebih besar dalam perumusan dan pelaksanaan program pemerintah. Apalagi banyak terjadi kasus KKN dalam perekrutan PNS di daerah. Tak sedikit dari mereka yang membayar ratusan juta agar bisa diterima menjadi pejabat sebagai calo. Dengan demikian, aktivitas mereka tidak didasari oleh pengalaman dan motivasi untuk berkontribusi bagi daerah, dan dampak negatifnya dirasakan oleh masyarakat yang kurang terlayani. Minimnya sumber daya manusia yang potensial, ahli dan kreatif dalam struktur pemerintahan daerah menjadikan pemerintah daerah tidak konsisten dan tidak konsisten dalam melaksanakan program daerah. Situasi ini bergantung pada lemahnya daya saing daerah dan, pada kenyataannya, upaya mencapai kemandirian daerah melalui pemerintahan daerah yang mandiri tampaknya akan mudah dicapai.
Leukemia adalah salah satu jenis kanker yaitu, masalah otonomi daerah di indonesia, tujuan pelaksanaan otonomi daerah, landasan hukum pelaksanaan otonomi daerah di indonesia, osteoporosis merupakan salah satu bentuk gangguan pada tulang yaitu, berikut salah satu komoditas impor indonesia yaitu, perkembangan otonomi daerah di indonesia, pelaksanaan otonomi daerah di indonesia, sejarah otonomi daerah di indonesia, pelaksanaan otonomi daerah di indonesia saat ini, otonomi daerah di indonesia, pelaksanaan otonomi daerah