Apa Yg Dimaksud Dengan Kesenjangan Sosial Ekonomi – Ditulis oleh: Aisyah A. Darmawan (Akuntansi 2020) dan Sabrina E. Susanto (Manajemen 2020) — Staf Kajian dan Peneliti Strategis BEM FEB UGM
Ketimpangan sosial sudah bukan lagi sebuah kata asing, namun di bawah tekanan pandemi ini, pernyataan seperti “yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin” telah menjadi kenyataan bagi masyarakat yang tidak bisa lagi diabaikan. Sejak ditemukannya virus SARS-CoV-2 di Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019, stabilitas global terguncang drastis. Virus Covid-19 tidak hanya mengguncang bidang kesehatan, masyarakat juga terkena dampak serius baik secara psikologis, terutama sosial ekonomi. Pandemi ini berhasil mengubah aktivitas sehari-hari masyarakat, terutama dalam hal karir individu.
Apa Yg Dimaksud Dengan Kesenjangan Sosial Ekonomi
Pada Februari 2021, jumlah pekerja yang menghadapi pengangguran massal mencapai lebih dari 8,75 juta orang (Badan Pusat Statistik (BPS), 2021). Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencatat 17,8% perusahaan menerapkan pemutusan hubungan kerja (PHK), 25,6% merumahkan pekerja, dan 10% melakukan keduanya. Selain itu, para pekerja yang tetap aktif di perusahaan mengalami tekanan akibat penjualan yang menurun, penjualan yang tidak terjual, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan dunia baru. Oleh karena itu, banyak keluarga yang terkena dampak gelombang pengangguran ini. Namun di luar pandemi ini, dunia kapitalisme dengan kekerasan perburuhan dan perburuan pekerjaan bukanlah sebuah konsep baru. Namun kehadiran virus ini menjadi salah satu katalis untuk membongkar keterikatan kapitalisme.
Ini Sebabnya Pemerataan Ekonomi Penting Dilakukan!
Analisis Lembaga Penelitian SMERU menemukan lima dampak utama pandemi COVID-19 terhadap masyarakat dan perekonomian. Pertama, dampak COVID-19 terhadap keuangan keluarga sangat parah. Tiga perempat responden menyatakan mengalami penurunan pendapatan dibandingkan Januari 2020. Tak hanya itu, mereka juga mengalami peningkatan pengeluaran karena harga kebutuhan pokok yang cenderung naik. Kedua, bantuan sosial dari masyarakat tidak menjangkau seluruh warga yang membutuhkan. Ketiga, banyak anak yang tidak lagi mendapat layanan pendidikan dan kesehatan. Hal ini disebabkan keterbatasan internet dan perangkat yang mereka miliki, sehingga tidak bisa lagi mendukung anak-anak bersekolah secara online. Terkait pelayanan kesehatan, banyak rumah sakit atau puskesmas yang tidak menerima pasien anak karena takut tertular COVID-19. Keempat, ketidaksetaraan gender berarti ibu mempunyai tanggung jawab lebih besar karena sekolah tidak lagi offline. Terakhir, ketersediaan pangan menjadi perhatian (Andrina et al., 2021).
Ada dua perspektif yang berbeda mengenai kemiskinan: kemiskinan dalam konsep individu dan kemiskinan dalam konsep struktural. Biasanya konsep individu didukung oleh pihak kanan, sedangkan konsep struktural didukung oleh pihak kiri (Bramley, 2016). Dari perspektif kemiskinan individu, masyarakat berada dalam kemiskinan karena mereka kurang mendapat informasi, tidak berpendidikan, malas, atau rendah diri (Bridges, 2016). Implikasi dari teori ini adalah orang yang lahir dalam keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan menjadi miskin. Jika perspektif ini benar, maka pemberantasan kemiskinan akan menjadi realistis, dalam arti keluarga yang membutuhkan dapat ditopang oleh kemiskinan (Daas, 2018).
Perspektif kemiskinan dalam konsep struktural mengandung makna bahwa kelompok “miskin” memahami bahwa mereka terjebak dalam struktur ekonomi yang bercirikan pendapatan yang tidak mencukupi. Struktur yang dimaksud adalah struktur politik, sosial, dan ekonomi yang mempunyai nilai dan ideologi tertentu. Kebanyakan orang dalam struktur ini tidak selalu berada di garis kemiskinan karena sifat kehidupan manusia yang dinamis (Mosse, 2010). Persoalannya, kondisi di sebagian besar negara berkembang adalah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan terjebak dalam lingkaran setan yang disebut dengan kemiskinan
Dapat dipahami sebagai serangkaian mekanisme yang menguatkan diri sendiri yang membuat negara-negara mulai menjadi miskin dan tetap miskin: kemiskinan melahirkan kemiskinan, sehingga kemiskinan saat ini sendiri merupakan penyebab langsung kemiskinan di masa depan (Azariadis & Stachurski, 2005). Oleh karena itu, cara yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengubah struktur ekonomi menjadi lebih fokus pada masyarakat berpenghasilan rendah (Daas, 2018).
Pemerataan Ekonomi: Memahami Konsep Dan Strategi Untuk Mencapai Kesetaraan Ekonomi
Sejarah terbentuknya negara kita dimulai jauh sebelum kita merdeka, ketika perjuangan keadilan masih diragukan. Runtuhnya kerajaan Mataram menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan ekonomi dan politik
(VOC) pada abad ke-18. Sebagian besar penduduk kerajaan kolonial pada masa itu terkonsentrasi di Pulau Jawa yang juga merupakan pusat berkembangnya sistem budidaya Belanda yang dikenal dengan sebutan
Sebagai bentuk menjalankan aktivitas ekonominya (Dell & Olken, 2019). Sistem budidaya ini akhirnya menghasilkan produksi ekspor gula secara besar-besaran, yang segera menjadi sumber pendapatan terbesar bagi Belanda; dimana sekitar 96 persen keuntungan berasal dari tanaman kopi dan gula pada awal tahun 1850an (Elson, 1994). Faktanya, pendapatan dari sistem ini menjadikan Jawa sebagai koloni yang paling menguntungkan, menghasilkan lebih dari sepertiga keuntungan pemerintah Belanda (Zanden, 2010).
Hasilnya, wilayah Indonesia yang menjadi tempat dibangunnya industri gula oleh pemerintah kolonial Belanda saat ini masih lebih produktif secara ekonomi dibandingkan wilayah lain di negara ini (Dizikes, 2020). Diketahui, kawasan yang dulunya merupakan sentra produksi gula ini ternyata membawa infrastruktur berlebihan seperti rel kereta api dan jalan raya, yang pada akhirnya membawa hasil signifikan bagi negara. Jadi, setelah industri gula, berbagai industri berkembang (Olken, 2020). Namun perlu dipahami bahwa penelitian dan hasil pengembangan industri yang dibawa Belanda bukanlah hal yang positif bagi Indonesia. Perlu diketahui juga bahwa hanya gula olahan dengan kualitas buruk yang boleh diberikan kepada warga negara Indonesia, sedangkan gula dengan kualitas bagus dijadikan bahan ekspor sehingga menambah pundi-pundi anggaran pemerintah Belanda saat itu. Belum lagi akibat penjajahan Belanda, Indonesia masih mempunyai dampak berupa kesenjangan sosial yang dipisahkan berdasarkan wilayah. Tentu saja tidak mengejutkan jika mengetahui bahwa Pulau Jawa kini mempunyai keunggulan ekonomi yang tidak adil dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Kesenjangan Sosial Dan Minimnya Pelayanan Dasar Di Pelosok Papua Picu Disintegrasi
Pada bulan Agustus tahun lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia menghadapi disparitas regional. Ia terutama membahas minimnya infrastruktur di Pulau Jawa dibandingkan pulau lain, mulai dari Sumatera hingga Papua. Sejauh ini, Pulau Jawa masih menjadi penyumbang PDB negara terbesar. Pada tahun 2020, Pulau Jawa menyumbang 58,75% terhadap PDB, diikuti oleh Sumatera sebesar 21,36% dan Kalimantan sebesar 7,94% (Badan Pusat Statistik, 2020). Tentunya perbedaan antar pulau sangatlah berbeda.
Permasalahannya, pembangunan yang terlalu Jawa-sentris menghadapi berbagai tantangan, seperti kesenjangan sosial dan kuatnya arus migrasi yang terus-menerus di Jawa (Rachbini & Abdullah, 2020). Kesenjangan antar wilayah yang lebar juga terbukti mengancam stabilitas sosial ekonomi, antara lain lemahnya kohesi sosial politik, berkurangnya aktivitas wirausaha, dan semakin lemahnya pertumbuhan ekonomi akibat semakin kronisnya ketidakmampuan kelompok miskin (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017). Akar permasalahan ketimpangan sosial berdasarkan wilayah berdampak bola salju, bahkan masyarakat terkaya yang tinggal di luar Pulau Jawa pun tidak mendapatkan fasilitas yang berkualitas, seperti pulau-pulau lainnya. Misalnya saja pelayanan Puskesmas yang membuat perbedaan antar wilayah, sehingga angka kematian bayi di Jakarta sebesar 27 per seribu kelahiran, jauh berbeda dengan angka di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang sebesar 90 per seribu kelahiran. seribu ulang tahun.
Selain disparitas kualitas fasilitas kesehatan masyarakat, pendidikan juga menghadapi tantangan baru akibat pandemi Covid-19; hal ini mengindikasikan adanya kesulitan, permasalahan yang juga berasal dari peluang ekonomi masing-masing daerah (Prabowo, 2020). Kami belum membahas kemungkinan finansial setiap keluarga, seperti memenuhi kebutuhan laptop, telepon seluler, dan membayar biaya internet. Begitu pula dengan penduduk Distrik Samunage, Papua, yang merupakan daerah pegunungan. Kotoran ada sinyalnya, tidak ada arusnya (Santi, 2020). Akibatnya, kasus seperti ini semakin mempersulit warga untuk mendapatkan informasi terkini mengenai berita Covid-19, tempat vaksinasi, dan bantuan masyarakat lainnya.
Namun tentunya kesenjangan pendidikan ini bukanlah hal baru yang muncul pasca-Covid-19, hanya saja permasalahan kesenjangan ini semakin banyak disoroti pada masa dampak virus endemik ini. Saat ini, salah satu perbedaan pendidikan yang paling menonjol adalah perbedaan antara pendidikan pedesaan dan perkotaan. Tak heran jika fasilitas pendidikan lebih terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta, sedangkan pendidikan di pedesaan semakin tertinggal, justru karena sumber daya manusia yang berkualitas berasal dari perekonomian yang lebih baik. Selain itu, kurangnya akses transportasi dan buruknya fasilitas komunikasi di pedesaan menyebabkan rendahnya minat guru (Vito dkk, 2014).
Mahfud Md Akui Kemiskinan Di Indonesia Meningkat Dan Kesenjangan Sosial Melebar
Hal ini sejalan dengan penegasan Joyo Nur Suryanto Gono (2006) bahwa struktur lembaga sosial dikendalikan oleh pemilik modal. Struktur institusi sosial seperti pendidikan, yang seharusnya berfungsi untuk membebaskan warga negara dari rantai kemiskinan, justru diberikan secara tidak proporsional. Pendidikan yang tidak proporsional ini membuat sebagian orang semakin miskin, meski sendirian
Dalam studi mengenai kesenjangan pendidikan di Nusa Tenggara Timur, ditemukan bahwa meskipun tingkat melek huruf meningkat dari tahun ke tahun, kesenjangan yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibandingkan dengan IPM Nasional tidak dapat ditutup (Kennedy et al., 2019). . Hal ini diketahui sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa NTT juga secara geografis terletak di daerah perbatasan antar negara, sebuah tempat yang terisolasi dan tidak memiliki akses terhadap layanan publik. Secara finansial, NTT juga menghadapi kondisi ekonomi yang buruk akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali, seperti ekstraksi mineral oleh perusahaan internasional, sebuah permasalahan yang menambah kompleksitas permasalahan besar yang dihadapi wilayah perbatasan Indonesia (Kennedy 2018). Terlihat bahwa daerah tertinggal seperti ini tanpa perubahan struktur sosial ekonomi tidak akan mengalami pembangunan.
Akibatnya, taraf hidup masyarakat masih belum setara dengan penduduk di daerah lain yang mempunyai keistimewaan berbeda, yang tentu saja pada akhirnya memperparah siklus kemiskinan yang sudah ada.
Indonesia, sebagai negara yang sering mengakar pada patriarki, tidak bisa lagi memisahkan masalah kesenjangan sosial dengan masalah kesenjangan gender. Bukan hal yang aneh jika banyak pekerja perempuan mengalami diskriminasi kerja dan kurangnya kesempatan mobilitas. Contohnya bisa dilihat dari perusahaan Aice tahun lalu. Perwakilan serikat Aice, Sarinah, dari Juru
Kunci Jawaban Ips Kelas 9 Hal 133 Semester 1: Apa Yang Dimaksud Dengan Kesenjangan Sosial Ekonomi?
Apa yang dimaksud dengan lembaga sosial, apa itu kesenjangan sosial, kesenjangan sosial ekonomi sebagai masalah sosial, makalah kesenjangan sosial ekonomi, apa yg dimaksud dengan kelompok sosial, apa yg dimaksud sosial, dampak kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan sosial dan ekonomi, apa yg dimaksud dengan ilmu ekonomi, pengertian kesenjangan sosial ekonomi, apa yang dimaksud dengan kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan sosial ekonomi