Perkembangan Hindu Budha Di India – Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia – Hindu Budha merupakan salah satu agama yang berkembang pesat di nusantara pada masa lalu. Diperkirakan pengaruh agama Hindu mencapai nusantara sejak abad ke-1 dan seterusnya. Perkembangan agama Hindu yang pesat mengikuti berdirinya banyak kerajaan bercorak Hindu pada periode tersebut. Sekitar abad ke-4 berdirilah berbagai kerajaan, yaitu Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumangara di Jawa Barat, Kerajaan Kalinga di pantai utara Jawa Tengah, dan Kerajaan Beprior di Gianyar.
Kerajaan Hindu kuno yang menonjol di nusantara adalah Kerajaan Medang yang terkenal dengan pembangunan candi Prambanan. Sejak saat itu, agama Hindu menyebar bersama Buddha ke seluruh nusantara dan mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-14.
Perkembangan Hindu Budha Di India
Sebaliknya, agama Buddha pertama kali masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) sekitar abad ke-5 M, terlihat dari prasasti-prasasti yang terpelihara. Dipercaya pertama kali dibawa oleh seorang musafir Tiongkok bernama Fa Hsen. Kerajaan Buddha pertama yang berkembang di nusantara adalah kerajaan Sriwijaya yang didirikan antara tahun 600 hingga 1377.
Perkembangan Agama Hindu
Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat perkembangan agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat dari komentar seorang sarjana Tiongkok bernama I Ching yang melakukan perjalanan ke India dan nusantara serta mendokumentasikan perkembangan agama Buddha di sana.
Berikut penjelasan beberapa kerajaan Hindu-Buddha yang pernah ada di nusantara dan mempunyai pengaruh besar pada masa kejayaannya.
, kerajaan Hindu tertua di nusantara adalah Martapura (bukan Martadipura) di kabupaten Muara Kaman, bukan Kutai Kertanegara (berdiri pada abad ke-14). Hal ini berdasarkan pada prasasti Yupa atau tugu batu tertulis yang ditemukan dalam dua tahap, yakni pada tahun 1879 dan 1940.
Sebagian besar dari ketujuh Yufa menceritakan kisah kemakmuran pada masa Mulvarman. Kini, tujuh permata itu ada di Museum Nasional. Buku klasik berjudul
Makalah Perkembangan Dan Masuknya Hindu Buddha Di Indonesia
Kitab tersebut ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir, seorang banjar yang merupakan seorang sastrawan di Kerajaan Kutai Kartangara. Kitab ini ditulis dengan aksara Jawa (teksnya menggunakan huruf Arab, sedangkan bahasanya Melayu). Buku ini mungkin merupakan sumber sejarah tidak termasuk bagian legendarisnya, meskipun tergolong sastra bercampur mitologi yang diagungkan. Naskah asli buku tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Negara Berlin, Jerman.
Penemuan tujuh buah Yufa ini menjadi awal penemuan kerajaan tertua nusantara. Menurut penjelasan Sarip, ada tiga nama terkenal di kerajaan Kotai Martapura yang disebutkan dalam Yupa. Pertama, Kundongga (bukan Kudongga) ditulis oleh para Brahmana Hindu pada masa itu sebagai bapak pendiri kerajaan, bukan raja pertama.
Kedua, Asuvarman putra Kundongga raja pertama Martapura. Ketiga, Mulvarman putra Asuvarman, raja kondang yang membawa Martapura terkenal hingga mampu menyumbangkan 20.000 ekor sapi kepada para brahmana. Belum ada catatan lebih lanjut mengenai sosok yang menjadi penerus Mulvarman.
Kerajaan Kuthai Kartangara Ing Martadipura dan peranan raja dalam perkembangan Islam di Kerajaan Kuthai pada abad ke-17 dan ke-18.
Lk Pengaruh Hindu Buddha Worksheet
Kemudian terungkap proses runtuhnya Kerajaan Martapura dengan raja terakhirnya, Dharmasatya. Sarip menganalisis dalam subbab tersendiri mengenai pemekaran yang dilakukan Kutai Kartangara pada tahun 1635 ketika diperintah oleh raja kedelapan, Aji Panjaran Sinom Panji Mandapa.
Singkat kata, terjadilah peperangan yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam hingga kedua raja tersebut bentrok dan saling menikam hingga mengakibatkan meninggalnya Dharmasatya. Kekalahan Martapura menandai kejatuhannya, begitu pula dengan aneksasi wilayah tersebut oleh Cuthai Kartangra. Sejak saat itu, kerajaan pemenang berganti nama menjadi Kotai Kartangara Eng Martapura.
Era Kerajaan Kutai sebenarnya sudah berakhir pada tahun 1960, namun sejak tahun 2001 dibangkitkan kembali sebagai bentuk pelestarian sejarah dan budaya, tanpa ada otoritas pemerintah. Sedikit berbeda dengan sebelumnya, kerajaan ini bernama Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kartangra dengan “a”, bukan dengan “e”, Martadipura, bukan Martapura.
Sarip tak henti-hentinya menyelidiki pertanyaan tersebut. Adapun bagi Kartangra, tidak begitu fatal baginya karena “Cartangra” dan “Cartangra” mempunyai arti yang sama. Namun berbeda halnya dengan kasus Martadipura yang tidak dapat dibenarkan karena mengganti namanya dengan menyisipkan suku kata yang tidak diperlukan.
Sejarah Nusantara Pada Era Kerajaan Hindu Buddha
Nama Martadipura sebagai variasi dari kata Martapura baru muncul pada tahun 1980-an. Bupati Kutai periode 1965-1979, Ahmed Dahlan mengungkapkan, idenya datang dari Dr. Anwar Sotoan, pejabat pemerintah tingkat 2 kabupaten tersebut. Kutai.
Sotuan berpendapat bahwa di antara kata “marta” dan “subur” perlu disisipkan kata depan “di” untuk menggantikan “ying”. Menurutnya, kata depan “di” memiliki arti yang sama dengan kata “ying” dalam bahasa Jawa Kawi. Dahlan mengungkap kasus ini dalam bukunya tentang
Sarif dalam bukunya juga membahas kesimpangsiuran transformasi nama Kundongga menjadi Kudongga yang mengakar dalam beberapa tahun terakhir. Tak kalah pentingnya, temuan karya Sarip ini menimbulkan pertanyaan mengenai nama museum Tanggrung yang diambil dari nama Mulvarman, bukan Aji Batara Agung Deva Sakti selaku pendiri Kutai Kartangara, padahal museum ini merupakan bekas keraton Kutai Kartangara, hingga saat ini. kisah Kotai Martapura.
Belum lagi penambahan patung banteng Savannah yang menyapa pengunjung museum juga berpotensi menimbulkan anggapan bahwa hewan tersebut adalah tunggangan Raja Mulvaman. Suwana Lembu sebenarnya adalah binatang mitos yang ditunggangi oleh Aji Batara Agung Deva Sakti.
Kitab Peninggalan Masa Hindu Budha Di Indonesia & Penjelasannya
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma merupakan sebuah kerajaan yang pernah menguasai wilayah barat Pulau Jawa antara abad ke-5 hingga ke-7 Masehi. Peninggalan ini menunjukkan bahwa Tarumangara adalah kerajaan Hindu Waisnawa.
Berasal dari kata “Tarum”, yaitu nama sungai yang membelah Jawa Barat, yaitu Ci Tarum. Temuan arkeologis yang terdapat di muara Chi Tarum berupa candi-candi yang luas yaitu Candi Batujaya dan Candi Cibuaya yang dianggap sebagai sisa kebudayaan Kerajaan Tarumangara.
Salah satu prasasti yang dijadikan sumber sejarah keberadaan kerajaan Tarumengara adalah prasasti Ciaruteun. Alamatnya di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Prasasti ini ditemukan di Sungai Ciaruteun, Bogor pada tahun 1863 dan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Ciaruteun, prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan Sansekerta yang terdiri dari empat baris puisi atau pantun India.
Sejarah Perkembangan Agama Hindu Di Dunia
(irama yang terdapat pada puisi klasik Weda dan Sansekerta), serta prasasti Ciaruteun B yang memuat cakaran kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya.
Menurut kurator prasasti Ciaruteun, simbol-simbol pada prasasti tersebut menunjukkan bahwa Raja Purnawarman adalah seorang yang gagah berani dan kuat. Prasasti ini berukuran panjang 2 meter, tinggi 1,5 meter, dan berat 8 ton.
Inilah sepasang kaki yang ibarat telapak kaki Dewa Wisnu, telapak kaki Yang Mulia Purnavarman, raja Tarumanagara, raja yang paling berani di dunia.
Berdasarkan pesan yang terkandung dalam prasasti Ciaruteun, dapat diketahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke 5 dan menginformasikan bahwa pada saat itu terdapat kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Prabu Purnawarman yang memuja Dewa Wisnu.
Buddhisme Di Indonesia
Kerajaan Tarumanagara dipengaruhi oleh kebudayaan India, terbukti dengan nama raja yang diakhiri dengan warman dan jejak kakinya yang menunjukkan kekuatan pada masanya. Pada tahun 1863 prasasti ini tersapu air bah, sehingga prasasti yang ada pun terbalik, kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke lokasi semula. Baru pada tahun 1981 alamat ini dilindungi.
Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya kerajaan Tarumengara berasal dari kronik Tiongkok, berupa catatan perjalanan Fa-Hin (penjelajah Tiongkok) dalam bentuk buku berjudul
Yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke 5 Masehi. Di Ye-Po-Ti terdapat banyak Brahmana dan animisme (dinamai menurut Javadwipa, namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung).
Pada tahun 414, Pa-Hin tiba di Jawa untuk mencatat dokumen sejarah kerajaan Tu-Lo-Mo (kerajaan Tarumangra) dan tinggal di Ye-Po-Ti selama 5 bulan. Lebih lanjut, laporan dari Dinasti Sui menyatakan bahwa utusan dari Tu-lu-mu tiba dari selatan pada tahun 528 dan 535.
Bab Lahirnya Hindu Budha
Berita Dinasti Tang kemudian menulis bahwa utusan Tu-lu-mu tiba pada tahun 666 dan 669. Berdasarkan berita tersebut terlihat bahwa kerajaan Tarumangara berkembang antara tahun 400.
Bukti tertua Kerajaan Medang terdapat pada prasasti Kanggal (732) yang ditemukan di kompleks Candi Gunung dan Kir di desa Kanggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sansekerta dan menggunakan aksara Pallawa. Isinya menceritakan tentang berdirinya Siwalingga (lambang Siwa) di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di sebuah pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi banyak beras dan emas.
Pembentukan lingga tersebut berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa Vadavipa pernah diperintah oleh Raja Sana yang bijaksana, adil dalam tindakannya, seorang perwira perang dan murah hati kepada rakyatnya. Setelah kematian Sana, negara tersebut hancur. Pewaris Sana adalah anak laki-laki (saudara perempuan) Sanaha yang bernama Sanjaya. Sanjaya menaklukkan wilayah sekitar kerajaannya dan pemerintahannya yang bijak memberkati negaranya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
Kisah Sana, Sanha dan Sanjaya juga dijelaskan dalam Carita Parahyangan, sebuah naskah yang disusun pada akhir abad ke-16. Secara umum cerita dalam naskah Carita Parhiangan mempunyai kemiripan tokoh dengan cerita dalam prasasti Kanggal.
Masuknya Unsur Budaya India Ke Indonesia Dan Pengaruh Pada Budaya Indonesia
Meskipun naskah tersebut tampak didramatisasi dan tidak memberikan rincian spesifik mengenai periode tersebut, nama cerita dan tema yang hampir tepat dalam prasasti Kangal tampaknya menegaskan bahwa naskah tersebut didasarkan pada peristiwa sejarah.
Masa pemerintahan Rakai Panangkaran hingga Dyah Balitung (760 hingga 910) yang berlangsung selama 150 tahun menandai puncak kejayaan peradaban Jawa kuno. Pada periode ini, kemunculan seni dan arsitektur Jawa kuno berkembang pesat, seiring dengan didirikannya serangkaian candi dan monumen megah di cakrawala Dataran Kedu dan Dataran Kivu. Candi yang paling terkenal adalah Candi Sewu dan Prambanan.
Candi Muara Tekos dipercaya telah ada pada masa keemasan Sriwijaya sehingga sebagian sejarawan menganggapnya sebagai salah satu peninggalan kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang terletak di Sumatera, namun kekuasaannya menjangkau hingga ke Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lain-lain. Sriwijaya berasal dari bahasa Sansekerta,
Perkembangan Agama Hindu Dari India Ke Indonesia
Kerajaan Sriwijaya pertama kali berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang terlupakan, yang kemudian diperkenalkan kembali oleh seorang sarjana Perancis, George Codes, pada tahun 1920-an.
George Codes memperkenalkan kembali Sriwijaya berdasarkan temuan prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Codes kemudian dimuat di surat kabar.
Perkembangan hindu di india, perkembangan agama budha di india, budha india, dewa hindu india, lahirnya hindu budha di india, hindu budha di india, sejarah hindu di india, kuil hindu di india, india hindu, lahirnya agama budha di india, hindu di india, jelaskan proses perkembangan hindu budha di india